WeLcome.....

Welcome to Sekar Gendis's Page

WeLcome.....

Welcome to Sekar Gendis's Page

Selasa, 14 Juni 2011


Seribu kelip cahaya
Wahai kunang-kunang, aku ingin menjadi seperti dirimu, menjadi ribuan titik yang bersatu membentuk cahaya digelap buta, menerangi padamnya jiwa malam-malam yang telah lama membenamkan matahari diufuk kejinggaan. Aku masih tak beranjak dari pinggir jalan ini. disebuah sudut kotak persawahan yang tak lagi tampak menghijau. Yang terlihat hanyalah kilau kunang-kunang seperti sedang merayakan sebuah pesta kemenangan. Ya, kurasa kunang-kunang itu sedang mengejekku yang kalah darinya. Dunia kunang-kunang yang tak pernah kutahu bagaimana cara binatang misterius itu bisa bertahan hidup. Ia memang misterius. Tuhan anugrahkan zat fosfor pada tubuhnya sehingga mereka bisa menyala-nyala bak kuku-kuku ajaib kelap kelip beterbangan .
Aku ingin bebas seperti mu wahai kunang-kunang. Memberi cahaya di gelap malam atas izin Pemilik Alam. Terbang kian kemari membawa kelap kelip cahaya bak lampu kota. Engkaulah cahaya damai pedesaan kami. Betapa jarang aku memperhatikan dirimu bahwa sesungguhnya engkau anugrah keindahan yang Tuhan titipkan kepada malam.
Kunang-kunang, taukah dirimu mengapa aku begitu mengagumimu malam ini? aku sepi, aku sendiri. Maka setelah pulang dari sompok ini, aku menepi dari jalan, lalu memperhatikanmu yang bahkan satu dua hinggap di roda motorku. Aku tak tahu apa yang engkau rasakan, namun kurasa engkau tak kesepian karena engkau memiliki teman yang nampak olehku jumlahnya ribuan. Subhanallah, maha besar Allah yang menciptakan dirimu wahai kunang-kunang, bahkan Dia juga mengatur kembang biak, makanan dan segala kebutuhanmu.
Persawahan ini masih terpekur memandangi kunang-kunang yang hinggap dibeberapa helai daun padi yang hampir menguning. Membiarkan begitu sawah yang tertata rapi membentang hingga kepelataran kaki bukit kecil ditengah desa. Langit malam masih seperti tak ada batas. Bersih tanpa sedikitpun awan yang bergerombol. Malam ini sempurna bayang-bayang mengikuti tiap benda apa saja yang terpantulkan cahaya bulan. Semua masih kulihat damai, lalu akupuningin  melangkah pulang,,,,
Namun, aku masih disini, tak beranjak. memandang kunang-kunang dari kejauhan. dan aku mulai bimbang. ada apakah gerangan yang terjadi padaku? siang tadi, senja menjelang malam ini, aku tetap tak bisa memutuskan apa-apa. aku seperti berada di belahan bumi yang tak kukenal. Aku tak bisa memutuskan segera. Biarlah, aku tahu suatu saat waktu berbaik hati pada keadaan....

Aku dan perasaanku
Namaku seperti yang kalian tahu adalah Ranisa dan biasa dipanggil Rani. aku masih 19 tahun pun belum genap. Aku, tak pernah menyangka jika jalan hidupku akan seperti ini. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku terhenyak sesaat melihat bentangan hijau dihadapanku, persawahan kampung tempatku tinggal menimba ilmu.
Betapa kaya tanah dengan bentangan sawah menghijau dengan dibentengi lereng bebukitan ini. Senja yang bening ditingkahi burung-burung gereja yang belum juga beranjak menuju sarangnya. Matahari masih belum sempurna tenggelam. Tertelungkup dibalik gumpalan awan putih dan pekat. Ia hanya tampak samar-samar. Sebentar lagi, purna sudah tugasnya dibelantara bumi bagian barat, yogyakarta. Tugas untuk hari ini.
Kampung ini sudah terlihat sepi. Meski tak heran semua penghuninya masih terlibat dalam derak kehidupan yang terus berputar.  Ah hidup memang tidak seperti deret ukur linier dari titik nol yang kemudian naik melonjak hingga pada titik tak terhingga, namun kehidupan seperti kurva sinus yang mulai dari titik nol menuju puncak, kemudian menurun lagi ketitik nol, lalu naik lagi, turun lagi. Demikian seterusnya. Ntahlah apa yang ada dalam fikiranku ketika angin semilir manyapa, menyentuh sepiku dalam hati. “ liburan kuliah “ karena merapi yang masih terus-terusan terbangun, masihlah terasa panjang. Kurasa sangat lama dan melelahkan karena kegiatanku hanya membaca, menulis, itu-itu saja.
Dari tepi gubuk sawah yang sejak 1999 didirikan bapak ini, kulihat anak-anak kecil sedang bermain-main, hanya terlihat garis-garis yang bergerak. Ah betapa aku pernah menjadi seperti kalian, gumamku. Menikmati udara panas dengan riang, bertelanjang kaki menelusiui rawa, perkebunan dan semak belukar. Masa yang menyenangkan dimana aku puas menjadi bocah kecil dengan segala kepolosan dan rasa ingin tahu tentang sesuatu. Bercita-cita tinggi, membuat bangga kedua oranga tua. Tuhan... akankah harapan itu tetap Engkau berikan kepada kedua orang tuaku jika aku akhirnya menikah muda? Kurasa Engkau akan berikan lebih dari yang pernah kubayangkan. Ini adalah jalan terbaik yang telah Engkau tentukan karena aku telah “ bertanya ” kepadaMu untuk keputusan yang tidak main-main ini. Aku tak tahu, sedang aku belum genap 19 tahun.
Kalian, mungkin bisa merasakan apa yang aku rasakan jika aku bisa memberikan iliustrasi yang baik pada kalian. Namun kurasa semua itu akan tetap sia-sia. Kalian takkan bisa mengerti diriku, karena kalian tak pernah menjadi diriku, mengalami apa yang terjadi terhadapku.
Senja masih menelisik sela-sela hatiku. aku tak lagi memperhatikan berapa burung gereja yang masih melayang-layang diudara. Aku terus diam memikirkan diriku sendiri yang saat ini ntah merasakan apa aku tak mengerti.
Matahari hampir purna dibelantara langit ketika kutengadah wajahku digaris perbatasan kaki langit. Kini, ia tengah memasuki zona perbatasan, garis horizon cakrawala. Berkas mega mengiringinya ringan seperti biasa. Senja kali ini tak ubahnya kerinduan. Kerinduan dalam jiwaku yang kadang terlunta-lunta mencari titik batas ending cerita yang kuharapkan. Atau seperti nadi yang selalu mengalirkan darah keseluruh tubuh. Menjadi jalur distribusi darah dari jantung. Mengalirkan denyut penanda bahwa masih adanya sebuah kehidupan. Akupun ingin menjadi sesuatu yang bisa mengalirkan semangatku untuk seseorang. Seseorang yang sudah satu tahun lebih ini menemaniku, tetap dalam batas-batas yang ditentukan Tuhan. Seseorang yang dengan kesendiriannya seperti seribu kunang-kunag digelap malam. Seseorang yang kehadirannyaa dalam hidupku adalah bagai cahaya. Yang kehadirannya  melukisi kanvas hidupku dengan warna-warna. Mengenalkanku pada sebuah ketakjuban dunia ciptaanNya. Seseorang yang tak pernah kuduga kehadirannya akan benar-benar terjadi dalam kehidupanku. Siapa lagi kalau bukan pemilik wajah simpatik, yang selalu memanggilku dengan sebutan “ Nduk ” itu, mas Hanandika.
Ah Tuhan, aku tak pernah memungkiri rasa syukur ini.

Senin, 13 Juni 2011

Untuk Sebuah Cerita(sebuah cerita bersambung)

DalamhidupMasHanan                                                                                                                                                             
Yang ku tahu, pria itu bernama Hanandika. selanjutnya aku hanya mengenal  melalui orang-orang disekitarku sebelum beberapa saat kemudian cerita ini bermula.
Kudapati kata-kata ini dari aliran cerita hidupnya yang beliau bagi padaku sejak pertama kenal, dan sampai kami lalui hari-hari kami. Kawan, aku ingin bercerita padamu tentang cerita yang bisa membuat kita mengharu biru jika aku pandai menulisnya. Pria berwajah simpatik itu dilahirkan pada 23 oktober 1975. Kau tau? Ia begitu banyak melewati alur-alur dalam cerita dihidupnya hingga kini. Melewati masa remaja seperti remaja kebanyakan, berkenalan dengan seorang wanita cantik, bunga indah yang jadi rebutan saat itu, mbak Anna Susanti. Merajut kasih selama 8 tahunan lebih. Tahun 1994 mas Hanan lulus dari SMTI jogjakarta dan bekerja selama kurang lebih 2 tahun di PT. Sari Husada. Dengan gaji sekitar 100.000an. Gaji yang lumayan banyak pada saat itu. 2tahun di Sari Husada ia memutuskan untuk kuliah, mengambil jurusan tekhnik lingkungan di STTL. Lulus pada awal 2001 dengan predikat cumlaude. Lalu ia sempat di daulat untuk menjadi asisten dosen dialmamaternya.
Ah kawan aku senang menceritakan bagian ini. Cerita yang paling membahagiakan dalam kehidupan mas Hanan. September 2001 tepatnya tanggal berapa aku tak tahu, ia meminang gadis ayu tumpuan hidupnya. Hanya beberapa bulan setelah pernikahannya, desember 2001 ia diterima bekerja di Sari Husada. Bertahun ia lalui indahnya hidup bersama bidadari jelitanya, seorang wanita tangguh luar biasa yang tak pernah mengeluh sedikitpun betapapun hidup saat itu. Kau boleh bilang padaku kawan, kalau aku sok tahu. Tapi benar, aku mengenalnya melalui kedekatan hati kami. 2003 menjadi tahun bersejarah bagi mereka. Hidayah merambati tenang hati yang rindu kedamaian itu. Mbak Anna pun semakin cantik kenakan jilbabnya. Semakin cantik. Iya, kukatakan padamu kawan bahwa ia semakin cantik seperti yang pernah kutemui dalam mimpi. Bertahun berlalu, merindukan hadirnya seorang malaikat kecil, cahaya bagi keluarga bahagia ini. Setelah sekian lama menunggu, kabar kehamilan bidadari cantiknya begitu membuat pria itu bahagia. Memenuhi tangis dan sujud syukurnya yang dalam. Hari-hari pun semakin ia lalui penuh kebahagiaan bersama istri terkasihnya. Ternyata Allah belum mengizinkan aku menulis cerita ini dengan happy ending seperti di film-film itu. 6 bulan kehamilan mbak Allah menguji kesabaran suami istri luar biasa ini. Janin yang dikandung wanita ayu itu belum mau ditimang ayah dan bundanya. Ia menanti di surga. Tanpa caesar mbak melahirkan bayinya yang ternyata seorang perempuan. Kau tau kawan? Ia mirip ibunya. Kau tak bisa mengatakan padaku bahwa aku sok tahu. Beberapa tahun setelah peristiwa juga bagian yang paling menyedihkan dalam cerita ini, aku bertemu dengannya dalam mimpi. Kau bisa membacanya dalam cerita dibagian yang lain. Kau tau kawan? wajah-wajah itu tampak begitu tegar meskipun hati remuk redam. Coba kau bayangkan semua ini. Akupun tak kuasa menahan tangis. Sejak tadi lembaran ini tak begitu indah diikat oleh buliran bening air mataku. Bayi mungil itu dibuai sesaat oleh mas tri yang sangat sayang sepenuh hati. Ia mengantarnya ke pemakaman sepi. Engkau tak sendiri sayang, dan bocah cantik itu diberi nama Hikmah NC. Sebuah nama yang cantik bukan? Oh kawan, lihatlah keluarga itu memulai damai dalam naungan sang pemilik cinta. Ia lalui episode-episode hidup yang tak sedikit godaan ini bersama kekasihnya, pemilik wajah ayu itu. Beban hidup terasa berkurang, angan bahagia begitu panjang, sampai suatu ketika mata pena ini diharuskan menulis bagian tersedih dalam kisah ini yang paling tidak aku suka kawan. Mbak alex, bidadari terkasihnya itu terkulai lemah. Namun ia tetap tegar, tak mengeluh sedikitpun tentang sakitnya. Sakit entah apa aku juga tidak tahu, tumor dalam livernya kalau tidak salah. Berbulan dirumah sakit kembali menguji kesabarannya. September 2007, gerimis kecil-kecil membasahi hati kami semua. Semua berguguran seperti bunga sakura dimusim gugur. Inilah cerita yang aku tak sanggup rasanya bercerita padamu. 9 September 2007, sesaat sebelum ramadhan ia insan yang kami kasihi  sekitar jam 08.30 berpulang kawan, berpulang dalam dekapan suaminya. Kembali dalam pelukan Rabb nya yang telah menjanjikan syurga untuk istri sholehah seperti ia, mbak anna. Ya kawan, ku katakan padamu dengan buliran air mataku, september 2007. Mungkin saat aku sedang sibuk berkutat dengan buku-buku diperpustakaan sekolah. Setengah sembilan pagi, dalam dekapan suami terkasihnya ia melepas jutaan senyum pengharapan bagi suami, keluarga dan orang-orang yang menyayanginya. Ia telah berpulang kawan, menjemput sunyi sendiri, mengisi taman-taman syurga yang hijau membentang permadani-permadani yang mengalir segala keindahan disana. Ya Allah ya Rabb berilah kebahagiaanMu untuk pria luar biasa ini, biarkan mbak mengecup wewangian syurgaMu. Ditemani putri kecil cantiknya, yang bergaun merah itu. Bertahun ia lalui sendiri, sampai suatu hari takdir menemukan kami.